Banda Aceh – Tim penyidik Kejaksaan Tinggi Aceh melakukan penahanan terhadap tiga tersangka kasus korupsi Penguasaan Lahan Eks-HGU PT. Desa Jaya Perkebunan Alur Jambu, Penguasaan Lahan Eks-HGU PT. Desa Jaya Perkebunan Alur Meranti, dan penerbitan beberapa sertifikat Hak Milik atas Tanah Negara.
Ketiga tersangka tersebut yaitu, berinisial M selaku Mantan Kepala Kantor BPN Aceh Tamiang yang juga mantan orang Nomor 1 Kabupaten Aceh Tamiang, TY dan R.
Plh Kasi Penkum Kejati Aceh, Ali Rasab Lubis mengatakan, para tersangka ditahan selama 20 hari, terhitung mulai tanggal 6 sampai 25 Juni 2023 di Rutan Kelas II B Banda Aceh.
Pasal yang disangkakan Primair : Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP, Subsidiair : Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kasus ini bermula pada tahun 2009 pengurus PT. Desa Jaya, tersangka TR mengajukan permohonan sertifikat hak milik diatas tanah negara yang berdekatan dengan Lahan Ex-HGU PT. Desa Jaya Alur Meranti dengan tujuan untuk mendapatkan pembayaran dari pengadaan tanah untuk kepentingan umum pembangunan Makodim Aceh Tamiang.
Dikarenakan asal muasal tanah tersebut merupakan tanah negara, tersangka TR dengan dibantu oleh M (Kepala Kantor Pertanahan Aceh Tamiang Tahun 2009) membuat permohonan kepemilian hak tanah dengan tujuan untuk bertani dan berkebun. Setelah terbit sertifikat pada tanggal 5 Juni 2009, selang beberapa hari Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang melakukan ganti rugi kepada Tsk TR atas tanah tersebut seharga Rp.6.430.000.000.
Bahwa PT. Desa Jaya Alur Meranti dan PT. Desa Jaya Alur Jambu mendapatkan keuntungan illegal yang berasal dari pelaksanaan kegiatan usaha perkebunan tanpa memiliki Alas Hak (Hak Guna Usaha) dan Perizinan (Izin Usaha Perkebunan), selain kedua perusahaan tersebut tidak melaksanakan 20 % program kemitraan masyarakat atau dikenal dengan istilah plasma.