Banda Aceh – Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Banda Aceh menggelar sidang terhadap perkara dugaan Korupsi PT Rumah Sakit Arun Lhokseumawe (PT. RSAL), yang dipimpin Majelis Hakim Ketua R Hendral didampingi R Deddy, Hamzah Sulaiman sebagai Hakim Anggota.
Sidang dengan agenda Pledoi dari dua terdakwa yaitu terdakwa Suaidi Yahya mantan Walikota Lhokseumawe dan terdakwa Hariadi Direktur PT.RSAL yang berakhir hingga senin malam (19/12) sekira pukul 11.00 wib.
Salah satu terdakwa Hariadi yang didampingi Penasihat Hukum menyampaikan pledoi pribadinya dalam persidangan menjelaskan, berawal pada akhir Desember minggu ketiga tahun 2015, ia dipanggil oleh Walikota Lhokseumawe saat itu masih terdakwa Suaidi Yahya menyampaikan kepada saya bahwa Vice President PT. Arun NGL telah mengembalikan SIOR (Surat Izin Operasional Rumah Sakit) kepada Pemko Lhokseumawe. Lalu terdakwa Suaidi Yahya menyampaikan kepada saya, bahwa beliau selaku Walikota telah memanggil Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) dr. Said Alam dan jajaran nya untuk membahas tindak lanjut pengemabalian SIOR tersebut dan rencana mengoptimalkan Kembali rumah sakit PT. Arun dari “0” (nol).
Terdakwa Suaidi telah menawarkan pengelolaan di bawah Dinkes kota Lhokseumawe, namun Kepala Dinas Kesehatan menolak saat ditunjuk untuk mengelola rumah sakit PT. Arun Lhokseumawe dengan alasan Dinas Kesehatan tidak ada ketersediaan dana untuk mengelola rumah sakit PT. Arun pada saat itu, ungkapnya dalam fakta persidangan
Dilanjutkan, bahwa saat itu saya menolak tawaran tersebut karena saya sedang menglola rumah sakit swasta yang sedang berkembang pesat di Lhokseumawe, namun, kemudian saya meminta waktu untuk berfikir satu minggu. Lantas terdakwa Suaidi Yahya menjawab tolong Pak Hariadi bantu saya untuk kota Lhokseumawe karena saya sudah surati ke Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) untuk di hibahkan/di pinjam pakai Rumah Sakit Arun tersebut, kalau tidak bisa dikelola saya malu dengan DJKN.
Kemudian (01/01/2016) jam 00:00 (Tengah malam) saya di ajak Dirut PDPL ke rumah sakit Arun Lhoksemwe untuk menghitung semua aset-aset, alat-alat Kesehatan, obat-obatan dan saran pendukung lainnya yang dimiliki oleh Yayasan Kesehatan Arun, karena pihak Yayasan meminta kepada kami sebelum masuk harus membayar dulu asset-aset dan obat-obatan yang masih ada di rumah sakit Arun. Dari hasil audit bersama perhitungan awal dihitung sekitar Rp 2,5 Milyar yang harus di bayarkan ke Yayasan, pada saat itu kami belum sepakat karena banyak obat-obatan yang sudah kadaluarsa dihitung, dalam fakta persidangan.
Akhirnya setelah di hitung ulang secara bersama-sama maka total yang harus dibayarkan sekitar 1,7 Milyar, dari hasil penilaian bersama kami sepakat membayar ke Yayasan dengan cicilan, dan sudah di bayarkan semuanya seiring rumah sakit beroperasional, lalu (01/01/2016) rumah sakit Arun resmi beralih dari yayasan Arun menjadi rumah sakit Arun Lhokseumawe, dengan izin sementara yang dikeluarkan Pemko Lhokseumawe melalui kantor KP2T, sambil menuggu surat dari DJKN, untuk menghidari pelayanan rumah sakit terhenti, sekaligus bisa terhenti pelayanan Kesehatan.
Maka mulai 01 Januari 2016 saya harus mengeluarkan biaya makan pasien, obat-obatan tambahan, sarana penunjang medis, gaji pegawai, honor dokter spesialis, kewajiban fee yang harus di setor ke PDPL sehingga membuat saya pusing 7 keliling, dan semuanya harus saya cari sendiri karena tidak ada dana dari Pemko atau PDPL sepeserpun, saya menggunakan dana pribadi, pinjaman dari teman-teman dan saya melakukan pinjaman dari Bank, agar pelayanan rumah sakit terus berjalan. Karena saat itu tidak ada satu pun pejabat Pemerintah Kota atau anggota DPR yang menanyakan keadaan rumah sakit apakah berjalan atau tidak, sama sekali tidak ada, kata terdakwa Hariadi.
Ketika itu di rumah sakit sangat membutuhkan biaya untuk merehab, bocor dimana-mana, WC sumbat, semua fasilitas ranjang pasien masih besi tidak standar rumah sakit, dan juga rumah sakit belum terakreditasi, yang mana semua ini membutuhkan dana yang besar dan dana dari pribadi yang saya pinjam dari teman-teman semuanya saya masukkan ke rekening Rumah Sakit Arun Lhokseumawe. Saya hanya mengelola Rumah Sakit Arun Lhokseumawe atas dasar hukum perseroan yaitu melalui PT. Rumah Sakit Arun Lhokseumawe atas dasar perjanjian-perjanjian yang disepakati terlepas sah atau tidaknya perjanjian tersebut dan atas perjanjian tersebut saya mengelola Rumah Sakit Arun Lhokseumawe, tambahnya.
Saya juga bukan ingin mengambil aset negara, saya hanya mengelola aset negara yang favorite bisa berhasil, berdayaguna untuk negara tanpa membebani biaya APBK/APBN tapi, bisa menghasilkan pendapatan asli daerah serta berdampak besar kepada masyarakat Kota Lhokseumawe terhadap pelayanan kesehatan dan sosial ekonomi kepada penduduk Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, serta membantu Pemerintah Kota Lhokseumawe dalam hal membuka lapangan kerja di Kota Lhokseumawe.
Saya mengelola Rumah Sakit Arun Lhokseumawe sesuai dengan Undang-Undang No. 44 Tahun 2019 tentang Rumah Sakit, begitu juga dalam pembayaran gaji dan fasilitas Direksi selama tujuh tahun harus dikembalikan ke negara semuanya, dimana hak saya sebagai manusia biasa, semua gaji dan fasilitas saya semua dikembalikan ke negara dimana letak manusiawinya terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada saya, padahal kami telah mengoptimalkan aset negara yang favorite untuk dikembangkan lagi lebih besar seperti renovasi gedung, kamar pasien, penambahan alat-alat kesehatan, bed-bed besi lama diganti dengan bed sesuai standar rumah sakit, semua itu dibeli dalam pengelolaan rumah sakit, kisahnya dalam pledoi dipersidangan.
Terhadap biaya management fee selama 7 (tujuh) tahun dan ada kontrak perjanjiannya selama 7 (tujuh) tahun Rumah Sakit Arun Lhokseumawe membayar management fee plus potongan pajak dianggap karugian negara, pada hal jelas-jelas uang disetor ke PT.Pembangunan Lhokseumawe (PTPL).
Sementara itu PTPL juga menyetor pendapatan asli daerah, hasil keuntungan dari perusahaan kenapa dianggap kerugian negara mungkin juga saya tidak sanggup memahami secara hukum dan keuangan cara penilaian inspektorat dalam mengaudit keuangan pada RSAL, berdasar audit inspektorat tidak masuk logika saya uang sudah disetor sesuai perjanjian dan sudah masuk juga ke pendapatan asli daerah dan uang pengeluaran rumah sakit, semua jadi tuntutan untuk saya, ini menurut saya sudah sangat diluar batas kemanusiaan menurut saya pribadi, pungkas Hariadi dalam fakta persidangan.