Banda Aceh – Instruksi dari Pemerintah Aceh kepada Pemerintah Kab/Kota agar menyampaikan kepada masyarakat kategori mampu yang selama ini menjadi peserta Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) agar segera beralih ke JKN Mandiri sebelum 1 April 2022 menuai polemik. Keputusan tersebut dinilai semakin menambah kerisauan publik di tengah berbagai karut marut ekonomi selama ini.
Terkait hal ini, Ketua DPRK Banda Aceh, Farid Nyak Umar, meminta Pemerintah Aceh memberikan penjelasan konkret agar masyarakat bisa tenang.
Apalagi tenggat yang diberikan yakni 1 April 2022 hanya tinggal sepekan lagi. Saat ini kata Farid, masyarakat mulai kebingungan, bagaimana jika pada bulan April nanti mereka ingin berobat, sementara mereka tidak memiliki kepastian apakah tetap sebagai pemegang JKA atau tidak. Sebab DPR Aceh menyampaikan tidak ada penghentian apalagi penghapusan JKA.
“Pemerintah perlu memberikan penjelasan yang konkret kepada seluruh masyarakat Aceh, meskipun dalam hal ini pimpinan DPRA telah mengatakan bahwa JKA bukan dihentikan, melainkan ditunda pembayarannya, tetapi sampai hari ini pemerintah kabupaten/kota belum menerima informasi lanjutan dari Pemerintah Aceh setelah informasi tentang permintaan adanya sosialisasi kepada masyarakat bahwa per 1 April bagi yang mampu harus sudah beralih ke JKA Mandiri dengan membayar premi sesuai ketentuan yang berlaku,” kata Farid Nyak Umar dalam program podcast DPRK Banda Aceh dengan topik “Ada Apa dengan JKA?” yang berlangsung dari Ruang Pimpinan DPRK Banda Aceh, Selasa, 22 Maret 2022.
Sosialisasi yang dimaksud Farid, sebagaimana diperkuat oleh Kepala Dinas Kesehatan Banda Aceh, Lukman, yang juga menjadi narasumber dalam podcast ini ialah penjelasan dari Sekda Aceh dr Taqwallah MKes dalam Rapat Koordinasi Evaluasi Penyaluran Dana Desa Triwulan I Tahun 2022, JKA, dan Penanganan Covid-19 yang berlangsung melalui Zoom meeting pada Kamis, 10 Maret 2022 lalu. Saat itu Sekda Taqwallah mengatakan bahwa mulai 1 April 2022 Pemerintah Aceh tidak lagi menanggung premi asuransi kesehatan warga mampu untuk program JKA.
Pertimbangannya antara lain karena penerimaan Dana Otonomi Khusus Aceh mulai tahun 2023 mendatang akan turun menjadi 1% dari sebelumnya 2% yang berasal dari dana alokasi umum (DAU) nasional.
Namun, kata Farid, meski DPRA mengatakan JKA tidak dihentikan, faktanya sesuai informasi dari Pimpinan DPRA bahwa dalam penganggaran APBA 2022 sebesar Rp500 miliar alokasi untuk JKA berkurang dari total Rp1,2 triliun. Artinya hanya tersisa Rp700 miliar untuk JKA di tahun 2022. Jika beban ini dilimpahkan kepada masing-masing pemerintah kab/kota tentu akan sangat memberatkan, ditambah lagi dengan kemampuan keuangan daerah yang sangat terbatas selama pandemi Covid-19.
“Sesuai informasi dari Pemerintah Aceh berarti sejak April ini sementara waktu tidak ada anggaran untuk JKA. Kalaupun nanti Pemerintah Aceh kembali menganggarkan dana JKA untuk sisa tahun 2022, itu baru bisa dilakukan ketika perubahan APBA 2022. Dan berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, APBA-P paling cepat disahkan pada bulan September, apalagi tahun ini masa tugas Gubernur Aceh juga akan berakhir. Sementara itu, kalaupun ini dibebankan kepada pemerintah kab/kota, untuk penganggarannya harus menunggu perubahan APBK yang prosesnya baru bisa dilakukan sekitar bulan Juli,
sementara sebelum APBK P disahkan, dananya dari mana? Bagaimana jika kab/kota tidak mampu? Kalau ada warga yang sakit dan ingin berobat bagaimana?” kata Farid.
Farid menekankan bahwa pihaknya selaku perwakilan warga Kota Banda Aceh di parlemen mendorong agar Pemerintah Aceh tetap mempertahankan program JKA secara penuh sepanjang tahun. Karena JKA ini selain implementasi dari Undang-Undang Dasar 1945, UU No. 40 tahun 2004, UU No. 24 tahun 2011, dan Perpres No. 82 tahun 2018, lalu Inpres No. 1 tahun 2022, dan yang paling utama merupakan amanah Undang-Undang Pemerintah Aceh (UU No. 11 tahun 2006) sehingga tidak ada alasan apa pun untuk menghentikannya.
“Apalagi dengan dalih efisiensi anggaran, mengingat selama ini setiap tahun APBA selalu mengalami SiLPA. Tahun 2019 ada SiLPA Rp1,8 T, tahun 2020 ada Rp3,9 T, dan tahun 2021 ada Rp2,8 T, ini kan sayang, anggaran sebenarnya ada, tetapi mengapa yang untuk JKA yang diefisiensikan.” kata Farid yang juga Ketua DPD
PKS Kota Banda Aceh.
Di sisi lain kata Farid, pihaknya mendukung upaya DPRA yang ingin agar BPJS transparan selaku pengelola JKA. Apalagi dengan usia JKA yang sudah memasuki angka sebelas tahun sejak dicetuskan pada 1 Juni 2010, terkesan aneh jika persoalan validasi data ini sampai sekarang belum beres. Bahkan DPRA bisa meminta secara khusus kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Aceh untuk melakukan audit investigasi terhadap pengelolaan anggaran JKA agar “kebocoran-kebocoran” yang selama ini menjadi sumber persoalan bisa teratasi. Jika diperlukan, Pemerintah Aceh bisa menggandeng pihak lain sebagai pengelola dana JKA.
“Menurut saya ini justru momentum untuk membenahi sistem pelayanan BPJS, bongkar saja sejelas-jelasnya, bisa dengan dibentuk Pansus, bahkan DPRA dapat meminta BPK RI untuk melakukan Audit Investigasi khusus pengelolaan dana JKA sejak 2010 s.d 2021,”
kata Politisi PKS ini.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh, Lukman SKM MKes merincikan, saat ini terdapat 98.592 warga Banda Aceh yang menjadi peserta JKA. Namun, pihaknya sama sekali tidak memegang data by name by adress karena selama ini mereka hanya memvalidasi data yang berasal dari BPJS.
Sementara berdasarkan penelusuran pihaknya, BPJS mendapatkan data tersebut dari sejumlah instansi terkait seperti Disdukcapil dan Dinas Sosial.
Pihaknya kata Lukman juga akan segera duduk dengan Pemerintah Kota Banda Aceh untuk membicarakan lebih lanjut mengenai strategi apa yang akan dilakukan jika Pemerintah Aceh benar-benar menghentikan JKA secara permanen. Ia mengkalkulasikan, dengan total 98.592 warga Banda Aceh yang tercatat sebagai peserta JKA, maka dibutuhkan Rp3,4 miliar lebih per bulan untuk mengcover layanan JKA ini. Dengan total Rp31 miliar lebih yang dibutuhkan untuk April hingga akhir Desember 2022.
Namun, lagi-lagi yang menjadi persoalannya adalah karena data sepihak dari BPJS, sehingga dari total 98.592 orang tersebut pihaknya tidak mengetahui siapa saja yang dialihkan ke JKA Mandiri.
Lukman juga menggarisbawahi bahwa
penjelasan dari Pemerintah Aceh sangat diharapkan, bukan hanya oleh masyarakat, tetapi juga para tenaga kesehatan yang bertugas di berbagai jenjang fasilitas kesehatan.
“Karena dalam pelayanannya kan mereka yang langsung berhubungan dengan masyarakat atau pasien. Nah, jangan sampai di 1 April nanti saat masyarakat datang ke faskes, tetapi mereka tidak bisa lagi dilayani dengan JKA sehingga nakes ini yang menjadi sasaran kebingungan warga, sebab DPRA bilang JKA tidak dihentikan,” kata Lukman