Banda Aceh – Aceh sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang berbatas langsung Samudera Hindia dan Selat Malaka, kerap menjadi tempat singah atau terdamparnya para pengungsi Rohingya. Indonesia bukanlah tujuan mereka, sebagaimana disampaikan oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Aliman Selian S.Pi, MIP, dalam agenda ‘Seminar Nasional tentang Penyelamatan di Laut: Celah Antara Hukum Indonesia dan Adat Laot’, (28/06) yang digelar Yayasan Geutanyoe di Hermes Hotel Banda Aceh, Rabu (29/06/2022).
Aliman Selian mewakili Gubernur Aceh mengatakan, Setelah puluhan tahun, konflik kemanusiaan dan diskriminasi terhadap etnis Rohingya masih terjadi di Myanmar, tentu persoalan terus melebar menjadi masalah besar bagi dunia internasional, khususnya negara-negara ASEAN, ketika etnis Rohingya berbondong-bondong ke luar wilayahnya sebagai pengungsi untuk mencari kehidupan lebih layak.
Dalam catatan kami sepanjang 2009 hingga kini, terhitung 20 kali kapal yang mengangkut para pengungsi yang terdiri dari laki-laki, perempuan, serta anak-anak, bahkan ada yang sedang hamil besar tinggal menunggu proses persalinan masuk wilayah Aceh, terdampar maupun ditolong nelayan di tengah laut, tuturnya,
Dengan dasar kemanusiaan, masyarakat nelayan dan pesisir menjadi penolong pertama bagi mereka. Dan ini bukanlah hal baru, karena sejak ratusan tahun lalu, nelayan Aceh terhimpun dalam Lembaga Adat Panglima Laot punya kearifan lokal dan Hukom Adat Laot yang menegaskan kewajiban bagi mereka untuk membantu siapa pun di laut yang membutuhkan pertolongan, ujar alumni Universitas Abulyatama.
Pada tahun 2015 merupakan sebuah pelajaran baik dari nelayan Aceh dan pemerintah daerah di saat seribuan pengungsi dengan beberapa kapal diselamatkan di perairan Aceh Utara, Langsa, Aceh Tamiang dan Aceh Timur, faktor kemanusiaan warga, berbagai lembaga, Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota, memicu Pemerintah Indonesia melahirkan regulasi untuk menampung pengungsi luar negeri dalam keadaan darurat di laut dan darat, yaitu; Peraturan Presiden No 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, tegasnya.
Di dukung dengan Peraturan Presiden ini menjadi dasar hukum menolong pengungsi Rohingya yang terombang-ambing di perairan Indonesia, sejauh ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi Internasional 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi atau biasa disebut manusia perahu, penyelamatan pengungsi Rohingya oleh masyarakat Aceh menuai pujian dari masyarakat internasional, termasuk Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui UNHCR, IOM, dan sejumlah negara sahabat, ungkap Aliman.
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo juga menaruh perhatian besar terhadap penanganan pengungsi yang terdampar di Aceh, misalnya saat penyelamatan 105 setelah terombang-ambing di perairan Kabupaten Bireuen pada 30 Desember 2021, Presiden Jokowi menyampaikan pesan secara khusus di media sosialnya, bahwa: “Demi kemanusiaan, Indonesia memutuskan untuk menampung sementara 105 pengungsi Rohingya di Aceh.” Imbuhnya.
Memang kita merasakan masih ada kendala dalam penanganan pengungsi, apalagi dipicu oleh isu-isu perdagangan manusia (Human Trafficking), termasuk isu politik internasional, keamanan dan pertahanan dalam menjaga kedaulatan Negara kita ini, oleh sebab itu isu ini kerap menjadi polemik hingga menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat nelayan dalam menolong para pengungsi. Satu sisi, Hukom Adat Laot, dimana mewajibkan mereka untuk membantu siapa saja yang terombang ambing di laut, sementara di sisi lainnya, dapat saja nelayan dan masyarakat terjerat dengan aturan hukum tentang perdagangan dan penyelundupan manusia, pungkasnya.
Celah inilah yang kemudian perlu perlu menjadi perhatian kita bersama, membahas berbagai kemungkinan dan persoalan terkait penyelamatan pengungsi dari luar negeri di laut Aceh dan Indonesia umumnya, dalam Seminar Nasional kita mengharapkan adanya ikhtiar untuk mencari solusi terbaik agar penanganan pengungsi Rohingya (jika terdampar lagi) di Aceh, dapat berlangsung baik, terorganisir dan tidak memuncul masalah baru, tutupnya. (M)