Dinamika Ekspor-Impor dalam Pertumbuhan Ekonomi Guna Mendorong Kemandirian Aceh
Oleh : Raksaka Ardy Damara – Ekonom Yunior Bank Indonesia Provinsi Aceh
Tinta emas pernah diukir Aceh dengan tercatat menjadi salah satu simpul penting perdagangan dunia. Pada abad ke-16, Nanggroe Aceh Darussalam dikenal sebagai salah satu titik jalur rempah yang selalu disinggahi kapal-kapal dari berbagai belahan dunia. Posisi Aceh sebagai daerah perdagangan dunia tidak terlepas dari kondisi kerajaan yang kaya akan berbagai komoditas rempah sebagai sumber pendapatan dalam perdagangan di dunia. Akantetapi, sebagaimana yang disampaikan oleh John Maynard Keynes, “I like the dreams of the future, better than the history of the past“. Kita tidak boleh terjebak dalam hegemoni kejayaan masa lalu dan harus move on menatap tantangan masa depan.
Ekspor-Impor Provinsi Aceh dalam Setahun
Dalam ekonomi makro, ekspor-impor merupakan salah satu komponen pendapatan nasional. Pendapatan nasional (GDP) yang dihitung berdasarkan pengeluaran dapat dinegasikan dengan persamaan sebagai berikut;
GDP = C + I + G + (X – M),
dimana X merupakan ekspor dan M merupakan impor. Kenaikan nilai ekspor akan meningkatkan pendapatan nasional (GDP), sedangkan peningkatan impor akan menurunkan pendapatan nasional. Sehingga dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, kemandirian ekonomi sangatlah diperlukan dengan mendorong ekspor dan mengurangi impor guna peningkatan pendapatan yang kita terima.
Berbicara terkait dengan pertumbuhan ekonomi, ekonomi Aceh pada triwulan I 2022 tumbuh 3,24% (y-o-y), mengalami penurunan bila dibandingkan dengan periode sebelumnya yang tumbuh sebesar 7,39% (y-o-y). Pertumbuhan dari sisi sektoral didorong oleh lapangan usaha seperti perdagangan, jasa kesehatan, dan pertambangan. Sementara itu, dari sisi penggunaan, pertumbuhan didorong oleh konsumsi swasta dan ekspor luar negeri.
Ekspor Aceh selama setahun ini memiliki tren positif meskipun sempat mengalami penurunan cukup tajam pada awal tahun yaitu pada bulan Januari 2022. Namun setelah itu, pada bulan Febuari 2022 nilai ekspor kembali naik dan meningkat dengan tren yang kembali positif. Dan pada April 2022 ekspor Provinsi Aceh mencapai tingkat tertinggi dalam satu tahun terakhir ini dengan nilai 84,28 Juta USD naik 10,54% dari April 2021 (y-o-y). Nilai ekspor Provinsi Aceh ini banyak disumbang oleh kelompok bahan bakar mineral sebesar 69,16 Juta USD. Kemudian disusul oleh kelompok teh, kopi dan rempah-rempah yang menyumbang sebesar 5,71 Juta USD. Adapun tujuan negara ekspor terbanyak adalah ke India, Thailand, dan Amerika Serikat dengan dengan pangsa pasar 82,07%, 5,20%, dan 4,60% dengan mayoritas komoditas ekspor adalah bahan mentah.
Selanjutnya untuk impor dalam setahun ini mengalami penurunan sebesar 92,46% (y-o-y) dimana pada April 2021 nilai impor di Aceh mencapai 16,49 Juta USD dan pada April 2022 menjadi 1,24 Juta USD. Nilai impor pada April 2022 ini sebetulnya nilai normal impor di Provinsi Aceh karena memang pada daily basis jumlah impor di Provinsi Aceh rendah kecuali jika ada pembangunan yang membutuhkan impor bahan baku impor dari luar negeri.
Sementara itu dalam setahun ini nilai impor di Provinsi Aceh hanya pernah sekali melampui nilai ekspornya yaitu pada bulan Desember 2021. Ekspor barang dari Provinsi Aceh bulan Desember 2021 adalah sebesar 60.397.460 USD sedangkan nilai impornya sebesar 76.190.888 USD. Hal ini menyebabkan neraca perdagangan Provinsi Aceh bulan Desember 2021 mengalami defisit neraca perdagangan sebesar 15.793.428 USD.
Penguatan Hulu-Hilir dalam Mendorong Realisasi Ekspor
Mengembangkan komoditas ekspor Aceh yang diminati oleh pasar harus menjadi priorias. Hal ini bertujuan agar pasar ekspor kita semakin kuat dan tidak terus berasa di fase penjajakan pasar. Saat ini, salah satu komoditas non migas yang memiliki pertumbuhan pasar yang tinggi di luar negeri adalah komoditas kopi. Permintaan kopi gayo di pasar dalam dan luar negeri sangat tinggi, terutama dalam bentuk green beans. Pada awal tahun ini, terjadi peningkatan permintaan kopi gayo yang berasal negara tujuan yaitu Kanada. Selain itu, permintaan kopi bulan April 2022 juga meningkat pada negara negara Asia dan Eropa seperti Malaysia dan Belgia yang tumbuh signifikan dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya.
Terdapat beberapa key success factor kopi sebagai komoditas unggulan berorientasi ekspor yang dapat dijadikan best practice replikasi pengembangan komoditas lainnya:
Kualitas, kuantitas, dan kontinuitas (K3) serta sertifikasi produk.
Implementasi Good Agricultural Practice dapat meningkatkan aspek kualitas, kuantitas, dan kontinuitas produksi serta pemenuhan aspek kelengkapan sertifikasi seperti fair trade, organik, rain forrest alliance, menjadi faktor utama keberhasilan kopi gayo menembus pasar internasional.
Keterbukaan informasi dan penguatan kelembagaan
Faktor selanjutnya adalah keterbukaan informasi kepasar terkait dengan kualitas, volume, dan informasi produk kopi gayo yang dapat memudahkan potential buyer dalam mengakses kebutuhan informasi produk.
Korporatisasi/kelembagaan
Dalam perdagangan, aspek keterjangkauan harga menjadi salah satu kunci dari terealisasinya suatu transaksi. Salah satu komponen pembentuk harga adalah biaya distribusi, guna efisiensi biaya distribusi, buyer di luar negeri cenderung melakukan transaksi dalam volume yang besar dan mencari counterpart tunggal sehingga mempermudah transaksi. Melihat kebutuhan tersebut, banyak kelompok tani yang telah mampu bersinergi dengan membentuk kelompok dan bernaung dibawah koperasi dan perusahaan sebagai salah satu bentuk korporatisasi. Pembentukan korporatisasi akan meningkatkan kapasitas sehingga dapat memperluas jangkauan pasar yang akan dituju.
Akses Pembiayaan
Peningkatan akses pembiayaan bagi Usaha sangatlah diperlukan dalam rangka menciptakan usaha yang mandiri, maju dan naik kelas yang dapat mendorong pengembangan dan penciptaan usaha baru.
Kedepan, komoditas asal Aceh diharapkan dapat diekspor langsung dari Aceh sehingga dapat meningkatkan pendapatan asli daerah. Selama ini, ekspor barang asli Aceh masih dilakukan di provinsi luar Aceh sehingga nilai tambah yang dirasakan menjadi kurang maksimal. Komoditas kopi misalnya, pada tahun 2021 ekspor kopi yang dilakukan di Aceh baru mencapai sejumlah 16.821 Ton, masih sangat jauh dibandingkan total produksi kopi Aceh yang mencapai 70 ribuan ton dengan segmen pasar kopi robusta Aceh yang 70% hasil produksinya diekspor keluar negeri.
Selain itu, Aceh diharapkan tidak hanya dapat menjual komoditas dalam bentuk bahan baku saja, tetapi juga produk olahan yang bernilai tambah. Diperlukan adanya percepatan pembangunan industri hilir guna mewujudkan kemandirian Aceh. Penumbuhan industri berperan strategis mempercepat pemerataan pembangunan dan kesejahteraan. Aktivitas industri akan membawa multiplier effect terhadap pertumbuhan ekonomi melalui penyerapan tenaga kerja, peningkatan nilai tambah, dan penerimaan devisa. Pengembangan industri tidak dapat berjalan sendiri, pengembangan harus dilakukan secara hulu hingga hilir sehingga dapat menciptakan nilai tambah. Diperlukan sinergi yang erat antar lembaga dalam mewujudkan kemandirian Aceh dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh.
Pemerintah dari sisi regulasi diharapkan mampu mendorong peningkatan usaha melalui pembuatan regulasi yang fasilitatif, mempermudah ekosistem usaha, serta melakukan pendampingan yang komprehensif dalam pengembangan hulu-hilir komoditas potensial ekspor di Aceh. Kebijakan yang baik akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi. Regulasi yang tidak tepat dapat menjadi distorsi bagi kebijakan dan berdampak pada perekonomian.
Kemandirian Aceh dalam pemenuhan Kebutuhannya
Dari sisi ekspor impor antar daerah, Aceh masih mengalami defisit antar daerah dengan nilai yang terus membesar setiap tahunnya, Tahun 2018 defisit hanya sebesar Rp 37,5T dan meningkat pada tahun 2021 menjadi Rp 44.20 T. Defisit utamanya berasal dari BBM, Kendaraan, dan Alat Angkutan lainnya.
Selain itu, untuk komoditas pangan/kebutuhan pokok, Aceh juga masih mengalami defisit untuk beberapa komoditas seperti bawang merah, daging sapi, dan telur ayam ras.
Kondisi defisit yang dialami Aceh disebabkan oleh berbagai faktor seperti yang terjadi pada bawang merah akibat dari jumlah penawaran komoditas bawang merah yang lebih sedikit daripada penawarannya di pasar. Selanjutnya untuk komoditas daging sapi dikarenakan banyaknya sapi yang terjangkit penyakit PMK sehingga jumlah pasokan daging sapi menurun ditambah turunnya kuota impor daging sapi namun permintaan akan daging sapi meningkat. Kemudian untuk komoditas telur di Provinsi Aceh menjadi mahal dikarenakan produsen utama penyuplai telur ayam ras yang berada di Sumatera Utara mengalami penurunan produksi sehingga penawaran yang ada di pasar menjadi rendah dan memengaruhi tingkat harga.
Peran TPID dalam Kemandirian Aceh
Dalam menghadapi inflasi yang tinggi, TPID Provinsi Aceh telah melakukan koordinasi erat untuk menahan laju inflasi. Hal ini dilakukan melalui pelaksanaan High Level Meeting TPID untuk mengantisipasi bulan ramadhan, sidak pasar, dan pelaksanaan pasar murah pada 92 titik di seluruh Aceh. Lebih lanjut, TPID Provinsi Aceh juga giat dalam melakukan rapat koordinasi untuk mengantisipasi isu-isu terkini. Tercatat telah melakukan rapat koordinasi mengenai solar dengan Dinas ESDM Provinsi dan rapat mengenai HET Minyak Goreng dengan Mendag Muhammad Lutfi. Selanjutnya, Gubernur Aceh sebagai Ketua TPID telah melakukan menyurati beberapa pihak untuk meredam kenaikan harga tiket angkutan udara.
Dalam jangka pendek, telah dilakukan berbagai upaya pemenuhan komoditas penyumbang inflasi di Aceh sebagai langkah pengendalian inflasi di Aceh. Terdapat 8 inisiasi Kerjasama Antar Daerah terkait dengan pengelolaan dan penguatan pasokan pangan strategis di Provinsi Aceh. Tujuh inisiasi kerjasama dilakukan bersama dengan daerah lain di wilayah Sumatera, dan 1 inisiasi kerjasama dilakukan bersama dengan provinsi di luar Sumatera. Terdapat 2 inisiasi kerjasama yang sudah mencapai penandatanganan MoU.
Dalam jangka panjang, diperlukan intervensi disisi hulu guna meningkatkan suplai pemenuhan kebutuhan sebagai upaya pengendalian inflasi. Aceh harus mampu menyediakan kebutuhannya sendiri dan tidak bergantung pada suplai dari daerah lain. Pembentukan BUMD pangan dirasa perlu dalam rangka pengendalian harga komoditas bahan pokok dalam menjaga keterjangkauan masyarakat. Ketika suplai kebutuhan tidak mampu dipenuhi oleh produksi di Aceh, BUMD dapat melakukan intervensi dengan memasok kebutuhan dari daerah lain sehingga fungsi pengendalian harga dapat berjalan. Disisi lain, BUMD juga dapat menjadi lembaga buffer dengan menampung hasil produksi komoditas Aceh saat terjadi kondisi over supply sehingga dapat menjaga harga jual petani.
Tugas kita bersama, bersinergi dan berkolaborasi untuk meningkatkan kemandirian Aceh dalam pembangunan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Sudah saatnya kita kembali menjadikan Aceh sebagai pemeran utama perdagangan yang bukan hanya sebagai konsumen, melainkan menjadi produsen baik dipasar lokal maupun global dan kembali menorehkan tinta emas dengan menjadikan Aceh Mesyuhu yang mandiri, berdikari, dan berdaya saing.