Hukum Kerja Sama Pengelolaan Tanah untuk Pertanian
Dalam fiqih, muzaraah adalah akad kerja sama pemilik tanah dan petani.
JAKARTA – Praktik kerja sama pengelolaan lahan pertanian sudah sering dilakukan masyarakat Indonesia. Biasanya pemilik lahan bekerja sama dengan petani untuk menghadap lahannya. Namun bagaimana hukumnya dalam fiqih Islam?
Pengajar Rumah Fiqih Indonesia yang juga alumni Universitas Islam Muhammad Ibnu Saud Arab Saudi, Ustadz Muhammad Abdul Wahab menjelaskan muzaraah berasal dari kata zara’a bermakna menanam sedang mukharabah berasal dari kata kharaba bermakna membelah lahan untuk ditanami. Dalam fiqih, muzaraah adalah akad kerja sama pemilik tanah dan petani dimana petani diizinkan menanam di tanah miliknya dengan kesepakatan bagi hasil dengan nisbah atau bagian tertentu dari hasil panen.
Jika modal benih berasal dari pemilik lahan disebut muzaraah. Adapun jika berasal dari petani atau penggarap disebut mukharabah.
Ustadz Wahab mengatakan pada muzaraah objeknya adalah tanaman, seperti padi, sayuran dan lainnya. Selain itu hasil panen dari lahan yang digarap dibagi dua antara pemilik lahan dan penggarap dengan bagian sesuai kesepakatan.
Modal muzaraah adalah lahan atau tanah kosong yang diserahkan pada petani untuk ditanami dan digarap sampai panen. Akad muzaraah upahnya adalah bagian tertentu dari hasil panen yang tentu jumlahnya tidak dapat diketahui secara pasti karena tergantung pada seberapa banyak hasil yang didapat saat panen, bisa jadi banyak, sedikit atau bahkan gagal panen sehingga tidak menghasilkan.
“Umum sekali dalam masyarakat Indonesia muzaraah dilakukan. Petani biasanya tidak punya lahan sehingga bekerja di lahannya orang, bagi hasil. Ada pengusaha lahannya banyak, cuma dia nggak mungkin kerjakan sendiri, akhirnya petani diberdayakan disitu. Itu umum terjadi,” kata Ustadz Wahab dalam kajian Rumah Fiqih Indoensia beberapa hari lalu.
Lebih lanjut ia menjelaskan di antara alasan akad muzaraah adalah pemilik memiliki lahan sendiri tapi tidak mampu mengelola, ada juga karena pemilik lahan memberikan kesempatan bagi orang yang tak punya lahan sehingga terjadi tolong-menolong, ada juga karena pemilik ingin dapat uang tanpa menggarap secara langsung lahannya. Dari sisi penggarap, akad muzaraah terjadi karena penggarap tidak memiliki lahan, keinginan mendapatkan hasil tambahan, atau hanya memiliki lahan yang terbatas.
Ustadz Wahab mengatakan para ulama berbeda pendapat tentang tentang hukum muzaraah atau mukharabah di mana upah yang diterima petani atau penggarap berasal dari bagian hasil panen. Bukan berdasarkan upah yang pasti sebagaimana dalam akad ijarah.
Pertama, sebagian ulama memandang bahwa akad muzaraah adalah akad yang tidak diperbolehkan. Diantara yang berpendapat demikian adalah Imam Abu Hanifah, Zufar, Imam Malik dan Syafiiyah. Hanya saja Imam Abu Hanifah dan Zufar mengharamkannya secara mutlak, sedangkan Imam Malik dam Syafi’iyah memberikan pengecualian bahwa akad muzaraah hukumnya boleh jika tanah atau lahan kosong yang hendak ditanami petani itu terletak diantara kebun yang mana pohonnya telah di-musaqah-kan pada petani atau penggarap yang sah.
Menurut pandangan pertama ini muzaraah dilarang karena upah penggarapan lahannya majhul sebab tidak ada kepastian hasil yang akan dituai nanti, boleh jadi lahan yang digarap tidak menghasilkan sama sekali pada akhirnya. Upah yang diterima penggarap harus pasti dan diketahui pada saat akad bukan berdasarkan bagian tertentu dan hasil panen yang belum pasti jumlahnya.
“Ada haditsnya memang, dari Tsabit Ibnu Dhahhak. Nabi itu melarang muzaraah. Kemudian, karena dianggap bahwa upahnya itu tidak pasti. Karena kan berdasar hasil panen, namanya hasil panen tidak pasti. Ini ada ketidak pastian, gharar, sehingga tidak boleh ” katanya.
Kendati demikian terdapat bantahan hadits-hadits larangan muzaraah. Diantaranya bahwa hadits-hadits dianggap tidak bisa untuk menggeneralisir pelarangan akad muzaraah. Sebab beberapa hadits dianggap dhaif, selain itu bila terdapat hadits yang sahih tidak dimaknai sebagai keharaman namun sebatas makruh tanzih.
Pendapat kedua, diwakili oleh sebagian ulama Malikiyah, Hanabilah, Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan memandang bahwa muzaraah adalah akad yang diperbolehkan. Di antara dalilnya adalah: Barangsiapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia menyuruh saudaranya untuk menanaminya (HR. Bukhari).
Menurut pendapat kedua ini akad muzaraah dapat diqiyaskan dengan akad mudharabah. Dalam akad mudarabah upah bagi mudharib adalah persentase dari keuntungan usaha yang mana keuntungan tersebut tentu tidak dapat dipastikan dan hal ini tidaklah merusak akad tersebut. Begitupun hal yang sama dalam muzaraah di mana upah yang didapat adalah persentase dari hasil panen yang didapat dari tanah garapan.
sumber : https://www.republika.co.id/berita/rcopdp366/hukum-kerja-sama-pengelolaan-tanah-untuk-pertanian