Banda Aceh – Setelah mendengarkan Penyampaian Pendapat Badan Anggaran DPR Aceh terhadap Rancangan Qanun Aceh tentang Pertanggungjawaban pelaksanaan APBA 2021 dan menyimak jawaban atau tanggapan gubernur Aceh terhadap banggar DPR Aceh tersebut.
Namun secara komperhensif Pendapat Badan Anggaran DPR Aceh terhadap Rancangan Qanun Aceh tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBA tahun 2021 terdiri atas 3 substansi pokok bahasan dengan 15 kesimpulan, ditambah 9 isu khusus. Pendapat Badan Anggaran DPR Aceh tersebut telah dijawab atau ditanggapi oleh gubernur dengan 11 substansi pokok bahasan.
Hal tersebut disampaikan di gedung paripurna DPRA, Jumat (1/07/2022)
Namun menurutnya, ada beberapa hal yang belum 2 terakomodir. Setelah mempelajari dan mendalami pendapat dan jawaban/tanggapan tersebut di atas ada beberapa pertimbangan sebagai berikut.
Pertama, tingginya angka kemiskinan di Aceh. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat: saat ini jumlah penduduk miskin di Aceh sebesar 15 persen atau sekitar 850.260 jiwa. Danpendapat banggar DPR Aceh Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada tahun 2021 sebesar 6,30% atau 160.562 jiwa jika dibandingkan dengan data tahun 2020 sebesar 6,59 % 136.064 jiwa.
Kondisi ini menunjukkan Aceh berada di bawah rata-rata secara nasional sebesar 6,49% bahkan untuk tingkat Sumatera. Aceh menempati nomor 2 tertinggi setelah Kepulauan Riau. Oleh karena itu, ia berharap dengan sumber daya dan penganggaran yang mencukupi dapat mengentaskan kemiskinan bagi masyarakat Aceh.
“Dengan memaksimalkan sumber daya lokal di Aceh, misalkan mengalokasikan anggaran untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil, menengah dengan cara menghidupkan UMKM sehingga ekonomi masyarakat Aceh tumbuh dan berkembang,” ujarnya dalam rapat tersebut.
Saat ini ia juga sedang menghadapi masalah serius yaitu tingginya angka kemiskinan di Aceh terkait angka stunting di Aceh. Berdasarkan Data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, provinsi Aceh menjadi satu dari tujuh daerah dengan kasus stunting terparah atau ketiga tertinggi angka stunting di Indonesia.
Tidak hanya itu, ia berharap masalah stunting harus mendapatkan perhatian khusus dari Pemerintah Aceh. Pemerintah Aceh harus berkomitmen dengan regulasi yang telah dibuatnya yaitu Peraturan Gubernur Aceh Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Stunting Terintegrasi di Aceh.
“Di mana peraturan tersebut telah mengamanahkan pelaksanaan pencegahan stunting dapat dibebankan pada APBA, APBK, dan APBG,” jelasnya.
Dengan demikian, ia juga berharap agar pemerintah Aceh segera memprioritaskan kebijakan dan program dalam penyusunan anggaran tahun yang akan datang, dengan menerapkan kebijakan penganggaran yang efektif.
Kemudian, terkait dengan rendahnya penyerapan APBA sehingga berujung pada Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) di beberapa tahun terakhir ini. Misalnya, tahun 2020 sebesar 3,96 Triliun dan tahun anggaran 2021 angkanya mencapai 3,93 Triliun. Besarnya SiLPA tersebut merupakan salah satu bukti bahwa perencanaan penganggaran tidak berjalan secara efektif di setiap SKPA, sehingga banyak program kegiatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat tidak dapat terealisasikan dengan maksimal. Hal ini berdampak pada pembangunan Aceh secara keseluruhan.
Harapannya, Ia melihat bahwa perlunya perencanaan dan pelaksanaan APBA yang efektif demi kesejahteraan masyarakat Aceh.
Reporter: salsabila