Jakarta – Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK Abraham Samad mengatakan banyak hal yang bisa dilakukan untuk memaksimalkan jeratan hukum Rafael Alun Trisambodo. Salah satunya, menurut dia, adalah dengan menggunakan Pasal Tindak Pidana Pencucian Uang.
Samad mengatakan jerat pasal berlapis bagi Rafael Alun adalah untuk menambah efek jera. Sekaligus, ia mengatakan pasal berlapis tersebut untuk memaksimalkan penerimaan negara.
“Ini istilahnya adalah memiskinkan pelaku korupsi. Karena kalau TPPU-nya itu lebih memberikan efek jera sebab ancaman hukumannya tinggi, hartanya semuanya disita,” kata Samad saat dihubungi pada Senin, 13 Maret 2023.
Namun, Samad mengatakan tantangan terbesar bagi KPK saat ini adalah menemukan pidana pokoknya yang berkaitan dengan kasus korupsi. Sehingga, ia mengatakan Rafael Alun baru bisa dijerat dengan Pasal TPPU dalam UU Tipikor.
“Kalau orang mau masuk TPPU kan itu harus ditentukan dulu pidana asalnya, bisa dari judi obat-obatan, korupsi,” ujar Ketua KPK periode 2011-2015 tersebut.
Samad juga mengatakan pengenaan Pasal TPPU bisa jadi alternatif sementara pengganti RUU Perampasan Aset yang tidak kunjung disahkan. Sehingga, Ia berpendapat asset recovery negara menjadi lebih maksimal dari suatu kasus korupsi.
Meski begitu, Samad sendiri tetap menilai RUU Perampasan Aset tetap memiliki urgensi untuk segera disahkan. Sebab, menurut dia, RUU Perampasan Aset bisa merampas harta kekayaan koruptor lebih maksimal lagi.
“RUU Perampasan Aset sangat mendesak untuk segera disahkan,” ujar dia.
Kekayaan pejabat Kementerian Keuangan menjadi sorotan publik setelah kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anak Rafael Alun, Mario Dandy Satriyo, beredar di internet. Mario kedapatan menganiaya anak berumur 17 tahun berinisial CDO yang merupakan anak pengurus Banser Pusat.
Netizen yang bereaksi pun kemudian mengulik-ngulik LHKPN milik Rafael Alun. Hasilnya, Rafael Alun Trisambodo kedapatan memiliki harta hingga Rp 56 miliar yang tercatat di LHKPN. Jumlah tersebut dianggap tidak wajar oleh banyak pihak mengingat Rafael Alun hanya menjabat sebagai pejabat eselon III.
Bak efek domino, muncul sejumlah nama pejabat Kementerian Keuangan yang lain yang memiliki harta yang dianggap tidak wajar. Muncul nama Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto, Kepala Bea Cukai Makssar Andhi Pramono, dan Kepala Kantor Pajak Madya Jakarta Timur Wahono Saputro.
Dikutip : Tempo.co