Rencana ibu yang ingin bunuh diri bersama anak di Pasar Minggu digagalkan petugas.
Jakarta – Viral di media sosial seorang ibu yang berniat mengajak bayinya untuk bunuh diri di stasiun kereta api Pasar Minggu, Jakarta. Sang ibu diketahui hendak melemparkan bayinya dan ikut bunuh diri.
Rencana tersebut digagalkan petugas keamanan yang ada di stasiun. Apakah ibu yang berencana bunuh diri tersebut terkena sindrom baby blues? Psikolog anak, remaja, dan keluarga, Sani Budiantini Hermawan, mengatakan apa yang dilakukan ibu tersebut merupakan ciri terkena baby blues.
Apa itu baby blues?
Baby blues syndrome dikaitkan dengan kondisi ibu yang kerap mengalami perasaan sedih terutama di masa awal-awal setelah melahirkan. “Baby blues biasanya terjadi ketika ibu setelah melahirkan ada hormon yang tidak seimbang dan membuat seorang ibu mengalami reaksi berat,” kata Sani yang juga Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani, dikutip Republika.co.id, Selasa (5/9/2023).
Setelah melahirkan, jumlah hormon estrogen dan progesteron tiba-tiba menurun sehingga menyebabkan perubahan suasana hati. Bagi sebagian orang, hormon yang dibuat oleh kelenjar tiroid bisa turun tajam, sehingga membuat mereka merasa lelah dan depresi. Kurang tidur dan tidak makan dengan baik dapat menambah perasaan tersebut.
Apa saja ciri dan faktor baby blues?
Reaksi baby blues bisa dalam bentuk berbagai macam seperti kecemasan tinggi, ketakutan, depresi berat, hingga ingin mengakhiri hidup. Sani menjelaskan hal yang memengaruhi baby blues bisa karena riwayat depresi seseorang, faktor keturunan, dan peran support system di sekitarnya.
“Biasanya semakin support system-nya baik, atau tidak ada riwayat genetik, riwayat depresi, maka baby blues bisa dihindari,” ujar Sani.
Akan tetapi jika tidak bisa dihindari, maka sebenarnya perlu cara-cara yang lebih bersifat antisipatif. Jadi, bukan terjadi baby blues dulu baru ditanggulangi, melainkan menyiapkan langkah pencegahannya. Misalnya, melalui pembekalan kesehatan mental oleh psikolog. Ibu setelah melahirkan mendapatkan pendampingan ketika mengalami depresi dan lainnya.
Sementara itu, dikutip dari laman March of Dimes, baby blues adalah perasaan sedih yang mungkin dialami pada beberapa hari pertama setelah melahirkan. Hingga empat dari lima orang tua baru (80 persen) mengalami baby blues.
Hal ini dapat memengaruhi orang tua baru dari segala ras, usia, pendapatan, budaya, atau tingkat pendidikan. Mengalami baby blues bukan berarti Anda melakukan kesalahan.
Merasakan naik turunnya emosi selama masa setelah melahirkan adalah hal yang wajar. Baby blues biasanya hilang dengan sendirinya dalam waktu satu atau dua pekan setelah melahirkan. Umumnya tidak perlu perawatan medis untuk baby blues.
Baby blues berbeda dengan depresi pascamelahirkan yang lebih parah dan berlangsung lebih lama. Jika perasaan sedih berlangsung lebih dari dua pekan, sebaiknya segera menemui layanan kesehatan.
Masalah emosional adalah kemungkinan penyebab baby blues lainnya. Anda mungkin merasa gugup saat merawat bayi yang baru lahir atau khawatir tentang perubahan hidup Anda sejak bayi tersebut lahir. Pikiran-pikiran ini bisa membuat Anda merasa sedih atau tertekan.
Hingga 10 persen pasangan bisa merasakan perasaan sedih atau depresi setelah kelahiran bayi. Hal ini paling sering terjadi pada 3 hingga 6 bulan pertama setelah bayi lahir, namun dapat berkembang hingga satu tahun setelahnya.
Jika pasangan menderita baby blues, mereka mungkin menunjukan ciri-ciri seperti berikut:
-Menarik diri dan menyendiri
-Merasa marah, murung, rewel atau cemas
-Kehilangan minat pada pekerjaan atau hobi favorit, atau memilih untuk lebih banyak bekerja
-Menjadi frustrasi atau sedih
-Merasa putus asa atau kewalahan
-Sulit tidur atau mengambil keputusan
-Kurang tidur, masalah hubungan, atau stres juga bisa menyebabkan baby blues.
Bisakah pria mengalami baby blues?
Pria juga mungkin mengalami baby blues karena perubahan hormon selama dan setelah bayi lahir. Kadar testosteron mungkin turun dan kadar estrogen mungkin meningkat pada ayah baru. Hormon lain seperti kortisol, vasopresin, dan prolaktin, mungkin meningkat. Semua perubahan hormon ini dapat menyebabkan depresi.
Dikutip : Republika.co.id,