Banda Aceh – Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) kembali menyidangkan tahap ke II terhadap perkara dugaan korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Kabupaten Simeulue dengan agenda mendengar Esepsi dari penasehat Hukum para terdakwa.
Diketahui terdakwa dari kasus tersebut adalah Murniati Mantan Ketua DPRK Simeulue masa jabatan 2014-2019, Irawan Rudiono mantan anggota DPRKA ,Poni Harjo selaku anggota DPRK yang masih aktif, Astamudin mantan Sekretaris Dewan, Mas Etika Putra mantan Kabag Administrasi DPRK, dan Ridwan Bin M. Yusuf mantan Bendahara Pengeluaran, Rabu (04/01/2023).
Dalam esepsi yang di sampaikan oleh Penasehat Hukum (PH) didepan persidangan dengan meminta kepada Majelis Hakim untuk membebaskan para terdakwa dengan alasan bahwa semua kerugian negara sudah dikembalikan serta sudah dimanfaatkan kembali oleh Pemerintah Kabupaten Simeulu.
Tarmizi SH salah satu PH dari terdakwa Astamudin,Mas Etika P, dan Ridwan dalam fakta persidangan mengatakan berawal dari perselisihan antara Eksekutif dan Legislatif, lalu setelah meneliti perkara aqou dari terjadinya perselisihan dengan bupati Simeulue Erly Hasyim karena adanya upaya pemakzulan yang dilakukan oleh DPRK Simeulue, lalu Bupati merasa marah dan langsung mengintervensi kepada dewan melalui sekwan.
Bahwa tentang kewenangan mengadili, Pengadilan Negeri Tipikor tidak berhak dan tidak memiliki kewenangan mengadili terdakwa Astamudin, Mas Etika Putra dan Ridwan, dengan alasan telah dikembalikan kerugian negara sebelum dilakukan penyidikan, ucapnya didepan Persidangan, tutunya.
Ia melanjutkan bahwa perkara tersebut lebih mengarahkan ke perkara mal administrasi, sehingga pengadilan negeri tipikor tidak berhak lakukan pemeriksaan serta mengadili klienya, “karena uang pengembalian itu sudah dipakai kembali oleh pemkab simeulu,” permintaan tersebut disampaikan oleh masing-masing penasehat hukum terdakwa dalam sidang.
Tentang adanya pembayaran lebih oleh pelaksana perjalanan dinas yang mana perjalanan tersebut seharusnya menggunakan transportasi pesawat namun menggunakan kapal laut, penginapan yang harus dilaksanakan pada hotel namun menginap di rumah terdakwa sendiri. Persoalan seperti ini sangat disayangkan apabila harus diseret dan diserahkan kepada PN Tipikor, tegas Tarmizi.
Bahkan menurut Tarmizi menyebutkan, kerugian negara sebesar Rp 2,8 miliar yang disampaikan JPU tidak ada hubungan sama sekali dengan perbuatan terdakwa sehingga tidak harus dipertanggung jawabkannya,“oleh karenanya, kami minta kepada majelis hakim untuk membebaskan terdakwa dari dakwaan penuntut umum serta mengembalikan harkat dan martabat kepada terdakwa seperti semula, imbuhnya.
Kepada terdakwa didakwa dengan Pasal 2 Ayat (1) Jo Pasal 18 ayat (1) huruf a, b, ayat (2) dan (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan JPU.
Diketahui bahwa ke 6 terdakwa diketahui telah melakukan perjalan dinas fiktif dengan merekayasa perjalanan dinas sehingga tidak sesuai dengan sebenarnya, atas perbuatan tersebut, terdakwa telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 2.8 miliar berdasarkan Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara dari BPK RI Nomor: 25 /LHP/XXI/12/2021 tanggal 27 Desember 2021,
Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Sadri S.H, M.H, didampingi R.Deddy S.H, M.H dan Elfama Zein S.H, M.H serta Umar S.H, M.H, Taqdir S.H dimana para terdakwa didampingi Penasehat Hukum