Jakarta – Aksi berani Presiden Jokowi mengeluarkan larangan ekspor bijih mentah seperti nikel turut mendapatkan respons dari dunia termasuk Uni Eropa (UE). Tak bisa lagi memperoleh hasil bijih mentah nikel dari RI, negara-negara yang tergabung dari Uni Eropa itu langsung menggugat Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).
Djoko Widjajatno dari Kadin beberapa waktu lalu kepada CNBC Indonesia menyebut, sikap negara-negara Eropa mirip seperti tindakan VOC di masa silam. Mereka ingin mengeksploitasi dengan memberikan keuntungan minimal bagi Indonesia, dan sebesar-besarnya buat mereka.
Jika melihat sejarah, pola seperti ini memang mirip dengan tindakan VOC pada masa silam. VOC atau Vereenigde Oostindische Compagnie adalah kongsi dagang Belanda yang dibentuk pada 1602 di Amsterdam. Mereka awalnya datang ke Nusantara (kini Indonesia) dengan motif perdagangan. Komoditas yang dibeli adalah rempah-rempah.
Mereka membeli dari pedagang lokal dengan harga murah lalu membawanya lewat kapal laut ke Belanda. Di sana mereka menjualnya dengan harga selangit. Karena satu-satunya pedagang rempah, alhasil Belanda kaya raya.
Motif berdagang itu kemudian berubah jadi politik. Untuk memuluskan langkahnya, VOC mengadu domba kerajaan lokal sekaligus memanfaatkan kebaikan masyarakat lokal. Dari sini, VOC perlahan mulai menguasai wilayah pesisir Jawa dan kawasan Timur Hindia Belanda, mendirikan kantor dagang di Banten pada 1603, dan merebut pelabuhan penting di Jawa, salah satunya Sunda Kelapa, pada 1619. Sejak saat itulah Belanda menjadikan Batavia sebagai pusat administrasi.
Tak sampai di situ, VOC juga merebut pulau penting penghasil rempah-rempah, seperti Ambon dan Banda. Khusus Banda, VOC melakukannya dengan cara sadis: membantai penduduk lokal.
“Kepulauan Banda diduduki setelah pertempuran gigih, dan praktis penduduknya terbasmi habis,” tulis Bernard H.M Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia (2017).
Penguasaan atas Malaka dan kepulauan Timur Hindia Belanda membuat VOC menjadi penguasa atas lautan Nusantara. Monopoli perdagangan telah menjadi ‘kunci emas’ VOC. Belakangan, VOC lebih dari sekedar perusahaan.
Mereka memiliki tentara, mendapat hak untuk melakukan perjanjian dengan penguasa lokal, membangun koloni, sampai mencetak uang sendiri. Menurut M.C Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (1999), keistimewaan ini membuat VOC semakin berkuasa. Keberhasilan VOC ‘mengadali’ dan ‘menipu’ masyarakat Nusantara menjadikannya sebagai perusahaan dengan aset terbesar di dunia saat itu. Sampai tahun 1637 saja, asetnya mencapai 78 juta gulden atau setara US$ 7,9 triliun saat ini.
Lewat dana besar hasil eksploitasi dari Nusantara itu mereka dapat membangun berbagai fasilitas penting di Belanda. Hidup mereka sejahtera di atas kesengsaraan masyarakat Nusantara yang makin melarat dan tertindas dengan menjual mentah hasil buminya untuk kekayaan VOC. Jadi bilan melihat praktik Eropa saat ini yang mencegah Indonesia mengelola sumber daya alam sendiri agar bernilai tambah, maka praktik ini tak ubahnya seperti VOC gaya baru.
Dikutip : CNBC Indonesia