Jakarta – Gonjang-ganjing Amerika Serikat (AS) tak hanya soal potensi gagal bayar utang yang bisa melanda di 1 Juni nanti. Tapi juga soal greenback atau mata uang dolar negara itu.
Pernyataan terbaru pun dikatakan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), Kristalina Georgieva. Ia membenarkan dolar AS secara bertahap kehilangan statusnya sebagai mata uang cadangan utama dunia.
Dalam sebuah konferensi di AS, Senin waktu setempat, ia berujar perubahan telah terjadi. “Ada pergeseran bertahap dari dolar, dulunya 70% dari cadangan, sekarang sedikit di bawah 60%,” tegasnya di acara Global Milken Institute 2023 dikutip Rabu (3/5/2023).
Meski belum bisa tergantikan dalam waktu dekat, tambahnya, pesaing AS terbesar sudah bermunculan. Ini antara euro, dengan potensi paling massif.
Ada pula pound Inggris, yen Jepang dan yuan China. “Mereka memainkan peran yang sangat sederhana,” katanya.
Dalam agenda tersebut Georgieva juga menyoroti guncangan besar dunia dalam beberapa tahun terakhir. Mulai dari pandemi Covid-19, konflik Rusia dan Ukraina, hingga lonjakan suku bunga setelah bertahun-tahun kebijakan moneter longgar dilakukan.
“Serangkaian peristiwa yang tidak terpikirkan,” ujarnya lagi.
Sebelumnya, akhir Maret lalu, negara-negara yang tergabung dalam BRICS (Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan) menyatakan tengah menggodok mata yang sendiri. Dikutip dari media India, Livemint, sebuah laporan mengindikasikan bahwa mata uang baru akan diamankan dengan emas dan komoditas lain termasuk elemen tanah jarang.
Tak hanya BRICS, Arab Saudi juga sempat dilaporkan Wall Street Journal akan menggunakan yuan sebagai mata uang dalam perdagangan minyak dengan China. Dari petrodolar, alat tukar akan berganti petroyuan.
India telah mengeluarkan kebijakan baru untuk semakin meningkatkan penggunaan rupee dalam perdagangan mereka sejak April 2023. Salah satunya dengan Malaysia dan Uni Emirat Arab (UEA).
April lalu, Menteri Keuangan AS Janet Yellen sempat berujar terjadinya “dedolarisasi” merupakan buah senjata makan tuan dari sanksi terhadap Rusia. Pasalnya, negara-negara yang selama ini bergantung pada dolar AS dan tak memiliki hubungan harmonis dengan Negeri Paman Sam, mulai berpikir untuk mencari alternatif mata uang lain untuk transaksi global.
“Ada risiko ketika kita menggunakan sanksi finansial yang dikaitkan dengan peran dolar yang seiring waktu dapat merusak hegemoni dolar,” kata Yellen dikutip CNN International.
Menurutnya, hal itu menimbulkan keinginan di pihak China, Rusia, hingga Iran untuk mencari mata uang alternatif. Dengan demikian, ancaman “buang dolar” benar-benar nyata.
Dikutip : CNBC Indonesia